Muslim Rohingya Dibantai, Ketegasan Jokowi Dipertanyakan

Foto Ist

JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Dunia mengutuk aksi pembantaian Muslim di Rohingya, Myanmar. Berbagai aksi dan doa digelar. Bahkan, militer Turki dikabarkan telah menyiapkan pesawat-pesawat tempur dilengkapi rudal penghancur untuk menyerbu Myanmar. Sementara masyarakat Indonesia mempertanyakan sikap Presiden Joko Widodo yang belum bertindak tegas, melakukan intervensi kemanusiaan dan meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Myanmar.

Padahal, soal Rohingya bisa memicu kerusuhan etnis dan merusak NKRI. “Sangat naif jika Jokowi berpangku tangan, bahkan terkesan membiarkan tanpa intervensi kemanusiaan. Seharusnya kita tingkatkan tekanan diplomatik untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan terhadap umat muslim oleh Pemerintah Myanmar. Jika pembantaian terus berlangsung bukan tidak mungkin akan memicu kerusuhan et is di Indonesia, sehingga merusak NKRI,” kata aktivis sosial Zulfikar Ahmad menjawab Harian Terbit, Minggu (3/9/2017).

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian for Transparency‎ and Akuntability (Infra) Agus Chaerudin. Menurutnya, masalah Rohingya jangan sampai merembet ke Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim. Jangan sampai masalah ini memicu kerusuhan etnis. “Karenanya Jokowi harus berani bertindak selaku kepala negara. Terlebih, Indonesia merupakan salah satu negara pendiri organisasi Asociation of South East Asian Nation (ASEAN).

Dan, lanjut dia, memiliki hubungan kuat dengan Myanmar yang juga bernaung di ASEAN. Menurutnya, Jokowi tampak belum bersikap tegas terhadap Pemerintah Myanmar terkait aksi kekerasan atau pembantaian umat Islam Rohingya. Ha itu terlihat saat Jokowi hanya mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang direncanakan datang langsung atau berkunjung ke Myanmar. Dirinya membandingkan dengan sikap politik Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang mengecam keras aksi kekerasan atau pembantaian terhadap warga Muslim Rohingya tersebut.

 "Harus Jokowi langsung sebagai aktor yang menekan Pemerintah Myanmar seperti sikap Presiden Turki," ujar Agus. Sejuta Orang Sementara itu, masalah Rohingya tampak mulai melebar di Indonesia. Hal ini terlihat dari akan digelarnya aksi sejuta orang bela Rohingya yang akan digelar di Candi Borobudur, Magelang pada Jumat (8/9/2017). Aksi akan diikuti elemen masyarakat dan akan mengepung Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Dalam aksi di Candi terbesar milik umat Budha itu menuntut agar hadiah Nobel kepada Aung San Suu Kyi yang dijuluki wanita yang tak berperikemanusian (The inhuman lady) dicabut karena mendukung pembantaian masal, pemerkosaan dan penindasan muslim Rohingnya. “Jumat, 8 September 2017*, insya Allah akan digelar Aksi Bela Muslim Rohingya dalam bentuk *Gerakan Sejuta Umat Islam Mengepung Candi Borobudur*.

Candi Budha terbesar di dunia. Kita sampaikan ke penduduk dunia Stop Pembantaian Muslim Rohingya,” demikian bunyi pengumuman yang diterima Harian Terbit, di akhir pekan. Sementara itu Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai berpendapat, di saat suasana tragedi bangsa muslim Rohingya sangat naif jika Indonesia diam seribu bahasa, Jokowi berpangku tangan, bahkan terkesan membiarkan tanpa intervensi kemanusiaan. Kita tidak mampu melakukan perang diplomatik dengan Myanmar.

Seharusnya kita tingkatkan tekanan diplomatik untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan terhadap umat muslim oleh Pemerintah Myanmar. Politik luar negeri kita adalah aktif secara aktif menciptakan perdamaian dunia, Indonesia sebagai negara ASEAN juga sebagai negara muslim terbesar dunia jangan takut mengambil resiko untuk menekan pemerintah Myanmar. “Sekali lagi Pemerintah jangan takut tekan Pemerintah

Myanmar hanya karena terikat dengan traktat Asean yang non intervensi urusan domestik,” ujarnya. Terpisah, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS PKS Hidayat Nur Wahid menyesalkan tidak adanya sikap atau pernyataan tegas dari Presiden Jokowi terhadap tragedi Rohingya. Menurutnya, persoalan Rohingya sudah selevel pimpinan negara bukan lagi antar duta besar. Karena itu, Hidayat mempertanyakan, mengapa sikap Jokowi terhadap Rohingya jauh berbeda ketika merespon teror bom di Paris maupun London.

Padahal, yang terjadi pada etnis muslim di Myanmar itu sudah dikategorikan pelanggaran atau kejahatan HAM berat dan terorisme. "Yang terjadi di Rohingya lebih mengerikan dari di Paris dan London tapi sampai sejauh ini kita belum dengarkan satu ungkapan apapun dari Pak Presiden," ujar Hidayat di Kantor DPP PKS, Jakarta, Ahad (3/9/2017).

 Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengaku telah menghubungi Penasihat Keamanan Nasional Myanmar dari Aung San Suu Kyi, U Thaung Tun. Langkah ini dilakukan terkait situasi di negara bagian Rakhine Myanmar yang kembali bergejolak selama beberapa hari terakhir. Kepada U Thaung Tun, Retno menyampaikan agar Pemerintah Myanmar lebih mengutamakan menangani masalah kemanusiaan terlebih dulu sehingga tak menimbulkan korban jiwa di kalangan warga sipil.

Kecam Kalangan ‎DPR RI juga turut mengecam pembantaian terhadap warga Rohingya di Rakhine, Myanmar. Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) malah meminta pemerintah mengusir Duta Besar Myanmar dari Indonesia sebagai sikap protes atas kekerasan dilakukan junta militer terhadap Muslim Rohingya. "Kami minta pemerintah bertindak lebih nyata. Malah PAN mengusulkan supaya Myanmar tak main-main, Duta Besarnya diusir dulu biar mereka paham kemanusian itu penting," kata Sekretaris Fraksi PAN, Yandri Susanto di Jakarta, Minggu (3/9/2017).

 Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini, meminta Duta Besar Myanmar dipanggil ke DPR untuk memberikan penjelasan. PKS beralasan DPR ikut andil dalam pengambilan keputusan apakah perlu ada perwakilan suatu negara atau tidak di Indonesia. Medsos Dari pantauan Harian Terbit, jagad media sosial semakin panas.

Bahkan beberapa situs resmi pemeritah Myanmar lumpuh diserang para hacker asal Indonesia, Malaysia, Singapura dan Timur Tengah. Militer Turki dikabarkan telah menyiapkan pesawat-pesawat tempur yang sudah dilengkapi rudal penghancur dan bakal menyerbu Myanmar. Selain itu foto-foto serangan balik dari Mujahidin Arakan menampilkan korban-korban tentara Myanmar terkapar diberondong peluru, dan beberapa pos militer dikuasai.

Ditambah lag sebanyak tiga belas peraih Nobel dan 10 tokoh berbagai profesi, mengirim surat terbuka kepada Dewan Keamanan PBB, mengkritik pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, tidak bersikap dalam kasus pembantaian etnis minoritas Rohingya, Sabtu (2/9/2017). Para peraih Nobel dan aktivis itu menyatakan serangan militer Myanmar telah membunuh ratusan orang termasuk anak-anak, pemerkosaan terhadap perempuan, pembakaran rumah dan penangkapan terhadap warga sipil secara semena-mena.

Surat terbuka ditandatangani 13 peraih Nobel yakni Muhammad Yusuf, Uskup Desmond Tutu, Malala Yousafzai, Jose Ramos Horta, Tawakul Karman, Shirin Ebadi, Betty Williams, Mairead Maguire, Oscar Arias, Jody Willliams, Leymah Gbowee, Sir Richard J. Roberts, dan Elizabeth Blackburn. Peraih Nobel dan aktivis itu menyatakan serangan militer Myanmar telah membunuh ratusan orang termasuk anak-anak, pemerkosaan terhadap perempuan, pembakaran rumah dan penangkapan terhadap warga sipil secara semena-mena. Sedikitnya 100 etnis Rohingya termasuk bayi tewas akibat serangan militer Myanmar di Rakhine, sejak Sabtu (25/8/2017) lalu.

Para aktivis pembela Rohingya menyebut korban tewas jauh lebih banyak dari itu, sedikitnya 800 orang Rohingya dibunuh. Sejumlah pihak pun mengecam atas kekerasan yang dialami etnis Rohingya. Karena
membunuh anak - anak dan perempuan tidak bisa ditolerir oleh pihak manapun. (Sammy/Safari/Danial)

Sumber : harianterbit.com
Diberdayakan oleh Blogger.