Quo Vadis Sanksi Komdis

Foto : pikiranrakyat.com
Mentari bergulir menuju senja saat saya membaca berita itu dari media sosial. Sungguh menyesakkan dan menoreh dera. Karena masih tak percaya, saya langsung cek ke sumber terpercaya. Dan benarlah adanya, bahwa Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan sanksi berupa denda Rp 50 juta terkait aksi koreografi "Save Rohingya" yang dilakukan bobotoh dalam laga Persib vs Semen Padang pekan lalu.

Ada sensasi yang saling bertolak belakang pada saat bersamaan. Di satu sisi saya memang sudah memprediksi sanksi pasti akan dijatuhkan oleh Komdis namun jenis dan nominalnya sungguh tidak saya duga sebelumnya. Terlebih, beberapa hari sebelum Komdis bersidang, salah seorang anggota Komdis yaitu Dwi Irianto sempat mengatakan bahwa Komdis akan menjatuhkan sanksi yang ringan terkait pelanggaran koreografi ini.

Persepsi Tentu bukan saatnya lagi kita bicara dalam konteks benar-salah atau baik-buruk karena masing-masing pihak akan memiliki argumentasi bagus yang memang sama-sama bisa dibenarkan menurut persepsi masing-masing. Adalah benar bahwa koreografi "Save Rohingya" ini sangat mulia, terkait solidaritas terhadap kemanuasiaan, tak menebar kebencian dan permusuhan.

Namun benar pula bahwa aturan harus ditegakkan serta unsur yang tampak telah memenuhi delik pelanggaran menurut apa yang tercantum dalam regulasi. Terlebih kasus kali ini bisa dengan mudah dirujuk ke dua kasus sebelumnya, yaitu spanduk bertuliskan "Save Ulama" yang diusung oleh pendukung Persija serta "Save Palestine" oleh pendukung Sriwijaya FC.

Kedua insiden ini pun berujung sanksi untuk dua klub terkait. Jangan lupakan pula bahwa "pesan-pesan di luar sepak bola" yang bisa menjadi target. Bukan hanya terbatas pesan-pesan negatif namun juga pesan positif. Hal ini seperti yang dialami oleh salah seorang pemain Sevilla yang memperlihatkan kaos bertuliskan "Save Palestine".

Tak cukup wasit, namun juga federasi sepak bola Spanyol yang turun menjatuhkan sanksi. Begitu pun UEFA yang menjatuhkan sanksi kepada klub Celtic usai pendukungnya menampilkan pesan solidaritas untuk Palestina. Kasus terdekat bisa kita rujuk saat wasit memberi kartu kuning kepada Irfan Bachdim usai pemain asal Bali United ini melakukan selebrasi dengan kaos yang bertuliskan ungkapan belasungkawa untuk suporter Timnas yang tewas dalam insiden laga Indonesia menghadapi Fiji beberapa waktu lalu. Persepsi menjadi hal penting pula saat kita mengernyitkan dahi ketika mendapati aksi #SaveParis dan #SaveManchester justru tak menghadapi sanksi apapun dari otoritas sepak bola.

Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya selain regulasi, pertimbangan subjektif dan kebijakan bisa turut diformulasikan dalam penjatuhan sanksi terkait "pesan dan hal-hal di luar sepak bola". Kepastian Hukum vs Keadilan Kepastian hukum dan keadilan seringkali diperhadapkan dalam law enforcement.

Memang betul selalu ada satu sisi yang dominan namun keliru jika meniadakan sama sekali sisi yang lainnya. Maka tampaklah jika sanksi Komdis terkait koreografi "Save Rohingya" hanya dominan dalam tataran kepastian hukum semata. Terlebih, argumen Komdis memang sangat mengedepankan cara berpikir positivistik. Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh Dwi Irianto (anggota komdis PSSI) sebelum sidang sudah sangat tepat yaitu sanksi sudah pasti akan dijatuhkan namun sanksinya tak akan berat. Karena jika jalan itu yang ditempuh, kepastian hukum menjadi nyata karena sanksi tetap dijatuhkan namun juga sisi keadilan menjadi pertimbangan yang meringankan.

Kalkulasi yang Kurang Cermat Kekeliruan sebagian khalayak yang mengartikan politik sebatas politik praktis terkait pemilihan dan dukung mendukung dalam konteks kekuasaan, sebenarnya turut membuat perdebatan menjadi tak fokus. Karena politik yang dimaksud dalam sepak bola memang lebih luas dari itu; mencakup gestur, tujuan, dukungan, sikap dan arah, serta gelagat persuasif ataupun provokatif. Jika kita sepakat tentang hal itu, sesungguhnya kali ini PSSI pun sedang melakukan blunder politik yang cukup fatal. Karena saat beberapa masalah belum jelas dengan pemerintah (terkait pelanggaran hukum nasional seperti legalitas klub, keimigrasian pemain asing) kini mereka justru berkonfrontasi dengan civil society.

Padahal selama ini, segmen inilah yang membela PSSI saat pemerintah dinilai berlebihan melakukan intervensi terhadap penyelenggaraan sepak bola. Disadari atau tidak, cepat atau lambat, hal ini akan membuat situasi menjadi kurang menguntungkan pada masa yang akan datang. Terutama, saat PSSI mengalami guncangan ataupun konflik dengan negara. Perlawanan yang Elegan Terlepas dari semua itu, apa yang ditunjukkan oleh bobotoh dengan aksi #KoinUntukPSSI dengan menggalang dana untuk membayar denda PSSI sungguh layak diapresiasi.

Hal ini adalah bentuk "perlawanan" yang sangat elegan dan berkelas. Bobotoh memberi isyarat bahwa mereka bertanggung jawab secara kolektif dan juga menunjukkan bahwa mereka tak ingin merugikan klub yang mereka cintai. Satu catatan penting terkait teknis di lapangan adalah bagaimana cara penyampaian dana ini ke PSSI karena secara de jure, sesungguhnya sanksi dijatuhkan kepada Persib, bukan kepada bobotoh. Kemudian perlu dicermati juga status Persib yang kini berbadan hukum Perseroan Terbatas, apa patut menerima bentuk sumbangan seperti itu?

Walau semua paham situasinya, namun hal-hal dan prinsip mendasar terkait aliran dana dari suporter ke kas resmi klub profesional harus tetap bergerak dalam konteks yang benar. Jangan sampai ada asumsi, Persib memerlukan dukungan seperti itu untuk mampu membayar denda dari komdis PSSI.***

sumber : pikiranrakyat.com
Diberdayakan oleh Blogger.