Malam Tahun Baru Pesta Kaum Borjuis, Bukan Tradisi dan Agamis?


KALAU boleh beropini mungkin telah menjadi tradisi atau sekedar menambah sensasi bagi warga Jambi (khususnya) yang menggelar aksi bakar-bakar pada malam pergantian tahun disetiap penghujung bulan Desember.
Rizal Ependi. Foto jambiterbit.com
Kayu api, tempurung kelapa dan arang kayu leban memang menjadi teman sekilas ketika menyambut malam tahun baru.

Bahan bakar tradisional itu sekejap sangat akrab dengan warga, sebelum posisinya kemudian digantikan oleh kompor minyak dan gas hingga sampai dipenghujung tahun berikutnya.

Bahan bakar tradisional yang kerap kali ditinggalkan itu sangat ampuh untuk memasak makanan ringan, cemilan atau kudapan seperti sate ayam dan daging, ubi dan jagung bakar.

Dengan memasak makanan pakai cara tradisional, pantaskah jika perayaan tahun baru MASEHI dikatakan sebagai tradisi atau tradisional aksi atau perayaan lawas kaum borjuis dan kapitalis, bukan perayaan agamis?

Tentu tidak, karena pada zaman modern, zaman teknologi canggih dan zaman now seperti saat ini, perayaan itu masih tak berubah, bahkan bertambah semarak.

Namun yang jelas perayaan penyambutan tahun baru (Tahun Masehi) tersebut tidak ada kaitannya dengan perayaan hari besar agama apapun. Perayaan ini murni kegembiraan manusia menyambut pergantian tahun yang dimulai pada Pukul 00.00 WIB untuk di Indonesia bagian barat dan entah pukul berapa pada belahan dunia lainnya.

Terkait dengan bakar daging (sate) jagung dan sebagainya merupakan kebiasaan masyarakat tertentu, atau budaya. Karena sambil menunggu tibanya Pukul 00.00 WIB tadi, mengunyah cemilan lebih asyik ketimbang berharap kepada tahun baru untuk mendapatkan perubahan.

Berharap, tentu saja boleh. Tapi bukan kepada "tahun barunya" misalnya, "Semoga tahun baru ini saya banyak dilimpahkan rezeki, usaha saya menjadi maju dan saya akan sukses lebih dari tahun sebelumnya" (Mungkin ini salah).

Benarnya mungkin seperti ini " Semoga pada tahun baru ini Allah, SWT (Tuhan pencipta alam semesta beserta isinya) memberikan rezeki yang melimpah, sehat lahir bathin dan diberkahi segala apa yang kudapatkan dalam menjalankan semua bentuk usaha"

Dapat disimpulkan, pada perayaan sambil menunggu pergantian tahun, alangkah baiknya kalau diisi dengan beribadah dan berdo'a kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan kemudahan dalam hal apapun selagi menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.

Mengutif laman klikkalsel.com Jumat 29 Desember 2017 yang ditulis oleh H Sukhrowardi, Pengarah Gerakan Indonesia Sholat Subuh Berjamaah, dalam memaknai perayaan pergantian tahun dia mengungkapkan seperti ini : http://klikkalsel.com/begini-pandangan-islam-terhadap-perayaan-tahun-baru/
H Sukhrowardi. Foto klikkalsel.com
MOMEN pergantian tahun sangat dinanti beberapa kalangan. Kebanyakan dirayakan dengan beraneka macam kegiatan hura-hura, ada yang konvoi tanpa tujuan, pesta, berdua-duaan dengan pacar hingga berujung kemaksiatan.

Malam tahun baru, begitu identik dengan kembang api/petasan, topi kerucut dan meniup terompet kesana kemari di detik-detik pertukaran tahun baru masehi. Padahal banyak secara tidak sadar, perbuatan dan hal-hal tersebut jauh dari syari’at Islam.

Sebagaimana diketahui, Islam tidak mengenal petasan dan kembang api, apalagi terompet. Sebab, tradisi membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api berasal dari umat non-Islam untuk mengusir setan. Hal ini jelas merupakan suatu kepercayaan yang bertentangan dengan aqidah Islam.

Lalu topi tahun baru yang berbentuk kerucut, tidak ada keterkaitan dengan agama Islam. Tahukah kalau topi itu disebut sanbenito, atau dalam bahasa Spanyol disebut sambenito, yang berarti pakaian “tobat” untuk kalangan agama tertentu. Pada perkembangannya, ketika kaum Frank menyerang Spanyol Muslim (Andalusia) di masa Raja Ferdinand dan Ratu Isabela berkuasa di Andalusia.

Topi sanbenito dipaksakan pula kepada kaum Muslimin Andalusia. Sebagai jaminan hidup orang Islam dengan satu syarat, yakni keluar dari Islam atau harus murtad (converso). Jadi topi itu digunakan saat keluar rumah, termasuk ketika akan berpergian kemanapun. Dengan menggunakan sanbenito aman dan tidak dibunuh.

Begitu juga, meniup terompet. Sebab, menjadi ritual kuno untuk mengusir setan. Sementara meniup terompet bagi orang Yahudi dimaknai sebagai gambaran ketika Tuhan menghancurkan dunia. Mereka melakukan ritual meniup terompet ini pada waktu perayaan tahun baru Yahudi, Rosh Hashanah, yang berarti “Hari Raya Terompet” pada tahun baru Taurat.

Di malam tahun baru, masyarakat Yahudi melakukan muhasabah diri dengan meniup shofarot sebuah alat musik jenis trompet. Bunyi Shofarot adalah sama bunyinya dengan terompet kertas. Meniup menyalakan petasan/kembang api, terompet dan memakai topi kerucut sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah.

Bahkan, Nabi Muhammad SAW menolak usul sahabat menggunakan terompet atau lonceng untuk memanggil umat Islam mendirikan sholat berjamaah. Alasannya, lonceng dipakai kaum nasrani, dan terompet menjadi kebiasaan orang-orang yahudi, sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda yang artinya :“Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.” (HR Abu Dawud).Hingga akhirnya, Muhammad SAW memilih adzan atau seruan untuk panggilan melaksanakan sholat.

Mukmin yang pertama mengumandangkan adzan adalah Bilal. Sehingga, perayaan pergantian tahun dengan dibunyikan terompet dan sebagainya bukan identitas Islam. Persoalan ibadah umat Islam punya identitas sendiri, bukan seperti bunyi lonceng, trompet dan seterusnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan haram hukumnya mengunakan simbol-simbol dan atribut bukan Islam. Tertuang dalam Fatwa Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim.

Fatwa ini muncul, karena fenomena karyawan beragama Islam yang diwajibkan perusahaan tempat kerjanya untuk menggunakan atribut atau simbol-simbol non-Muslim, saat momen akhir tahun. Jadi, para pemilik usaha hotel, restoran, supermarket, departemen store dan sebagainya harus menghormati dan melaksanakan fatwa tersebut dan tidak boleh lagi ‘memaksa’ karyawannya yang beragama Islam untuk mengenakan atribut atau simbol keagamaan non-Muslim. (***)
Diberdayakan oleh Blogger.