IAW: KPK Gagal Buka Aib di Kemendes RI
![]() |
Foto Ist |
JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Dua auditor Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli telah divonis majelis hakim
Pengadilan Tipikor Jakarta masing masing 7 dan 6 tahun penjara. Selain
kurungan badan, keduanya juga harus membayar uang denda yang nilainya
mencapai ratusan juta rupiah. Rochmadi harus membayar denda Rp 300 juta
subsider 4 bulan. Sementara Ali harus membayar denda Rp 250 juta
subsider 4 bulan.
Keduanya terbukti secara sah dan menyakinkan menerima suap
masing-masing Rp200 juta dan 240 juta dari mantan Irjen Kementerian Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito
terkait laporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang akan dikeluarkan
BPK. Uang diterima keduanya dari Sugito melalui Kepala Bagian TU dan
Keuangan Inspektorat Kemendes Jarot Budi Prabowo.
Ketua Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW) Junisab Akbar mempertanyakan
mengapa begitu naif penanganan KPK dalam kasus auditor BPK tersebut.
Karena hingga kini KPK hanya mampu menyeret pelaku kejahatan dengan
'kadar kejahatan yang rendah'. Padahal dalam fakta persidangan, KPK
sudah menyita banyak data, pengakuan dan lainnya.
"Tapi mengapa KPK tidak mampu menyentuh penyebab suap itu karena hanya
menangkap tangan para auditor tersebut?," ujar Junisab di Jakarta,
Selasa (6/3/2018).
Junisab menuturkan, kejahatan dua auditor itu bukan hanya sekedar
pemberian WTP, namun masih banyak yang lain. Seperti diduga metode audit
yang digunakan sengaja disimpangkan dari tata audit yang baik dan
benar, namun justru hal itu tidak disidik KPK. Selain itu mengapa KPK
tidak memeriksa sampai ke pimpinan seluruh auditor itu yakni Komisioner
BPK RI.
"Di fakta persidangan sudah mempertontonkan kepada publik bahwa didalam
Tim auditor itu secara berjenjang terlihat 'bekerjasama'
memperdagangkan kewenangannya," jelasnya.
Dengan adanya fakta persidangan, sambung Junisab, harusnya KPK mampu
membuka 'aib' tim auditor sampai kepada Komisioner BPK RI. Karena tim
itu bisa dengan mudah menggunakan metode yang salah dalam melaksanakan
audit, namun justru hal itu dibiarkan. Sehingga Tim dengan mudah
memperdagangkan WTP. Padahal, diduga kuat ada permasalahan senilai Rp940
miliar dalam proses audit yang dilakukan Tim itu terkait anggaran
Pendampingan Dana Desa (PDD).
"KPK harus tahu bahwa Komisioner BPK RI itu memiliki tugas dan wewenang
untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara. Tim itu adalah penerima mandat dari Komisioner," paparnya.
Junisab menilai, teknik dangkal KPK menjerat pelaku kejahatan hanya
dengan pendekatan OTT sudah tidak jamannya lagi. Tidak mungkin ada OTT
tanpa ada 'bargain'. Karena dalam kasus auditor BPK di Kemendes PDTT
esensinya diduga kuat ada temuan yang lebih buruk dari sekedar penilaian
disclaimer dalam penggunaan anggaran tersebut.
"KPK kami desak untuk melakukan penyidikan berbekal fakta-fakta
persidangan untuk menyentuh esensi permasalahan. Itu tidak sulit. Jika
KPK enggan melakukannya, tentu akan menjadi pertanyaan besar bagi
publik, khususnya di kalangan yang bergelut dalam dunia audit,"
pungkasnya. (*)
Penulis : Safari
Sumber : harianterbit