Ulah Setnov Sebut Nama Puan dan Pramono di Kasus e-KTP, Hubungan PDIP-Demokrat Memanas

Foto Ist

JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Kesaksian Setya Novanto (Setnov) dalam persidangan kasus e-KTP, berdampak pada memanasnya hubungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat. Padahal dua partai ini belum lama menjalin kemesraan yang mengarah ke pembukaan koalisi. ‎Koalisi kedua partai pun dinilai berbagai kalangan terancam sirna.

Belum genap sebulan tampil 'mesra', hubungan PDIP dan Partai Demokrat  kembali memanas. PDIP tiba-tiba 'membombardir' serangan ke Demokrat setelah nama politisi PDIP Puan Maharani dan Pramono Anung disebut menerima aliran dana e-KTP oleh Setnov. Padahal sebelumnya Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memuji Ketua Umum PDIP Megawati.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, geram dengan pernyataan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Hinca menilai, PDIP cuci tangan dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Menurutnya, Hasto telah menyalahkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mendiskreditkan Partai Demokrat dalam kasus ini. Ia mengatakan, PDIP berusaha melindungi keterlibatan kadernya, yakni Puan Maharani dan Pramono Anung dalam kasus tersebut dengan cara menyalahkan pihak lain.

"Sekjen PDIP yang langsung menyalahkan kebijakan dan program e-KTP lantaran kader-kadernya ada yang diduga terlibat korupsi E-KTP ibarat mencuci tangan yang kotor dan kemudian airnya disiramkan ke orang lain," ujar Hinca di Jakarta, Jumat (23/3/2018).

Hinca menilai, argumentasi Hasto yang menyebut partai oposisi tidak mungkin korupsi proyek pemerintah adalah argumentasi yang dangkal, lemah, dan mengada-ada.

Dia pun heran dengan Sekjen PDIP karena dianggap tidak memahami tindak pidana korupsi dalam sebuah kebijakan. Hinca mengatakan korupsi merupakan tindakan pribadi, karena itu tak bisa menyalahkan partai penguasa atau pemerintah yang tengah berkuasa.

Hinca mengatakan, tak ada partai oposisi saat ini yang menyalahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo ketika ada kader yang telibat korupsi proyek pemerintah.

Dia mengatakan Hasto seharusnya memahami tudingan bahwa Puan dan Pramono menerima suap proyek e-KTP bukan disampaikan oleh kader Demokrat, melainkan oleh mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Hasto dan PDIP seharusnya mengklarifikasi hal tersebut kepada Setnov, bukan menyalahkan Demokrat yang dianggap tak berwenang berkomentar atas hal tersebut.

"Medan yang dihadapi oleh kader-kader PDIP yang diduga ikut terlibat dalam korupsi e-KTP, khususnya Puan Maharani dan Pramono Anung adalah pihak KPK, Majelis Hakim dan Setya Novanto sendiri. Jangan menarik-narik pihak lain yang tidak ada hubungannya," ujarnya.

Lebih dari itu, Hinca meminta semua pihak berani bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah dilakukan tanpa menyeret pihak lain yang tidak terlibat.

Diketahui sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, menilai pernyataan mantan Ketua Umum Partai Golkar Setnov di persidangan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) hanya mengejar status justice collaborator.

Hal itu menanggapi disebutnya sejumlah nama jajaran elit PDIP oleh Setnov, seperti Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan Puan Maharani, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey yang diduga menerima suap kasus e-KTP.

"Kami juga mengamati kecenderungan terdakwa dalam kasus tipikor menyebut sebanyak mungkin nama, demi menyandang status justice collaborator. Apa yang disampaikan Pak Setya Novanto hari ini pun, kami yakini sebagai bagian dari upaya mendapatkan status tersebut demi meringankan dakwaan," kata Hasto di Jakarta, kemarin.

Dalam persidangan, Setnov menyebut, Pramono dan Puan masing-masing diberi SGD500 ribu dari proyek e-KTP.‎ Setnov mengatakan bahwa, informasi pemberian uang kepada Pramono dan Puan itu ia dapatkan dari Direktur PT Delta Energy Made Oka Masagung.

Hasto menilai, justru Menteri Dalam Negeri era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Gamawan Fauzi yang harus memberi jawaban secara gamblang terkait akar persoalan korupsi e-KTP. Hal itu kata dia menjadi bagian tanggung jawab moral politik kepada rakyat, karena pemerintahan SBY pada awal kampanyenya menjanjikan tidak ada korupsi.

"Kami bukan dalam posisi designer, kami bukan penguasa. ‎Dan hasilnya begitu banyak kasus korupsi yang terjadi, tentu rakyatlah yang akan menilai akar dari persoalan korupsi tersebut, termasuk e-KTP," katanya.

Komunikasi Politik

Waketum Partai Demokrat, Syarif Hasan, menganggap 'serangan' PDIP bisa mempengaruhi komunikasi politik kedua partai. Padahal Partai Demokrat sempat diprediksi merapat ke kubu pendukung Joko Widodo (Jokowi) untuk Pilpres 2019.

"Sedikit-banyak itu (pernyataan Sekjen PDIP) menjadi bahan pertimbangan buat kami," singkat Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarif Hasan di Jakarta, Jumat (23/3/2018).

Syarief menyebut pernyataan PDIP sangat keliru dan tak berdasar. PDIP dianggap mencari-cari kesalahan.

Konflik

Sementara itu, Direktur Eksekutif lembaga survei Median, Rico Marbun, menilai konflik bakal berpengaruh ke peluang dukungan Partai Demokrat ke pencapresan Joko Widodo (Jokowi). Padahal, peluang tersebut baru saja terbuka di Rapat Pimpinan Nasional 10 Maret 2018 yang dihadiri Jokowi sendiri, tokoh PDIP.

"Jelas. Kelihatan sekali ini bakal mengurangi peluang koalisi," kata pengamat politik Rico Marbun di Jakarta, Jumat (23/3/2018).

Saat Rapimnas, Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono, sempat berkata, "Jika Allah menakdirkan, sangat bisa PD berjuang bersama Bapak (Jokowi)," kata SBY di hadapan Jokowi dalam Rapimnas PD di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Kemesraan itu seolah buyar gara-gara reaksi Sekjen  PDIP Hasto Kristiyanto terhadap pernyataan Setnov di persidangan, yang menyebut Puan Maharani dan Pramono Anung dari PDIP menerima uang berkaitan dengan kasus e-KTP. Anehnya, Hasto tak menyerang Golkar namun menyerang Partai Demokrat. Hasto sempat mengkontraskan slogan 'Katakan Tidak Pada Korupsi' dengan kasus korupsi yang menimpa kader Partai Demokrat.

Balasan datang dari Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik dan Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. Situasi PDIP-Partai Demokrat menjadi tegang dalam waktu yang relatif singkat. "Ketegangan ini pasti akan berlanjut sampai penentuan capres-cawapres," kata Rico Marbun.

Selain itu, Rico memandang PDIP memang tak ingin partai lain menjadi mitra koalisi yang diuntungkan pada Pilpres 2024 kelak. Maksudnya, bila Jokowi terpilih lagi di 2019 maka Jokowi tak akan bisa maju ke Pilpres 2024 karena sudah dua periode masa jabatan. Otomatis yang berpeluang menjadi presiden selanjutnya adalah wakil presiden.

"Kalau kita bisa membaca, ada nuansa keterancaman dari masuknya figur AHY menjadi cawapres dari Pak Jokowi. Bayangkan juga kalau PDIP gagal lagi menempatkan figur yang bisa melanjutkan representasinya dari posisi cawapres di 2019-2024," tutur Rico.

Rico memandang, PDIP punya kepentingan menempatkan calon wakil presidennya di sisi Jokowi supaya tahun 2024 menjadi Presiden RI. Padahal bila tercipta koalisi dengan Partai Demokrat, ada sosok AHY yang potensial mendampingi Jokowi.

Panasnya suhu politik PDIP-Partai Demokrat dewasa ini juga menguatkan peluang terciptanya poros ketiga yang tak mendukung Jokowi maupun Prabowo. Poros ketiga akan memunculkan capres baru, asalkan jumlah kursi mereka melebih ambang batas pencapresan.

"Bisa jadi poros ketiga, tergantung siapa parpol yang ditarik Partai Demokrat. Partai Demokrat dan PAN punya sejarah bersama, tapi itu tidak cukup. Dia harus ambil satu partai lagi," kata Rico.



Penulis  : Sammy
Sumber  : harianterbit
Diberdayakan oleh Blogger.