KPK Bakal Jemput Paksa Sjamsul Nursalim dan Istri
Istimewa |
JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) akan bekerja sama dengan Singapura untuk
memulangkan bos PT Gajah Tunggal Tbk Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih
Nursalim untuk diperiksa sebagai saksi terkait Surat Keterangan Lunas
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Jadi, ini masih berproses di penyidik KPK, di mana mereka memahami
tahapan prosesnya dikaitkan dengan rencana yang sudah disusun. KPK
memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan CPIB Singapura," kata
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Jakarta, Senin, yang dilangsir jambiterbit.com, Selasa (17/4/2018).
Saut menambahkan pihaknya fokus untuk membuktikan kesalahan tersangka
Syafruddin Arsyad Temenggung yang telah memperkaya Sjamsul Nursalim
selaku obligor BDNI.
"Sudah pasti (akan dipulangkan) kalau kami bisa buktikan peran (Sjamsul Nursalim) seperti apa (pada perkara ini)," katanya.
KPK sampai sekarang berupaya menghadirkan bos PT Gajah Tunggal Tbk
Sjamsul Nursalim terkait kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI).
"Kemarin kami sudah panggil sebanyak dua kali. Yang bersangkutan kan
tidak hadir dan posisinya juga di luar negeri, jadi kami tidak bisa
melakukan proses," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Jika Sjamsul Nursalim ada di Indonesia, lanjut Febri, pihaknya bisa menghadirkannya secara paksa.
KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017.
Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat
Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang
Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban
penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8
Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang
telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor
yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati
Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono,
Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti dan Menteri
BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan
utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham
dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak
kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor
Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi
kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset
oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari
pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian
keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap
BDNI menjadi Rp4,58 triliun.
KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus
2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam
perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham
pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban
penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58
triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada
BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Penulis : Zamzam
Sumber : harianterbit