Carut Marut Bisnis Kecut


 ( Oleh : Rizal Ependi )

BERJALAN di rel kereta sepertinya sangat berbahaya ketimbang harus menapak lumpur di tebing cadas berbatu. Ada satu pilihan lagi menepi di simpang jalan berpangkal mulus berujung terjal dan berdebu.

Sungguh suatu petaka bila mempertahankan sebuah idealisme ditengah badai suap yang menderuh. Saling sikut berebut manut kepada pembesar negeri yang tengah berperang melawan maut.

Peretas negeri ini telah berseru, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah masa silam yang kelam tanpa cahaya.

Namun seorang Soekarno telah menyalakan pelita yang kelak menjadi suluh di tengah gelap. Tadinya hanya suluh, namun kemudian membakar semangat rakyat Indonesia untuk mengisi kemerdekaan yang lahir pada 17 Agustus 1945.

Berkobar semangat mengumpulkan "upeti" untuk kemudian dibagikan ke rakyat dengan jargon membangun negeri. Konon, pembangunan merata hingga ke desa, menjadi agenda pembesar negeri, untuk bersama menikmati indahnya merdeka.

Semoga cita -cita mulia para pemimpin bukan hanya mimpi semu. Seluruh Indonesia kebagian program pembangunan untuk mensejahterakan rakyat.

Tak ketingalan pula Provinsi Jambi, yang dikenal sebagian orang sebagai segumpal tanah surga yang jatuh ke bumi.

Pembangunan di Jambi terus menggeliat, pelaksanaanya lancar tanpa pelumas. Namun, ada yang tersembunyi dibalik semua itu. Proses pembangunan dilaksanakan bak sebuah bisnis jeruk purut, dananya terus mengerucut hingga kebawah semakin susut dan terasa kecut.

Terasa kecut bagi yang ogah manut, namun jika penurut semua akan lancar dan dapat berperan ganda pada episode berikutnya.

Mulus memang ! Semua berjalan mulus karena peran pengawas telah dihapus. Tinggal kirim fulus satu kardus, a ye ye, bebas lewat walaupun jalan tak lurus.

di sini ada istilah baru, "setor atas" ya, tentunya dari bawah. Seandainya 40 biji apel, yang di atas kebagian 30 biji dan sisanya nyangkut sebagai upah tunggu terima.

Inilah faktor penyebab menjamurnya praktik kotor di Jambi. Meraka tak malu lagi "bermain lumpur" kendati kotor, setelah menyetor akan kinclong.

Bahkan, sebagian pihak menjadikan praktik kotor ini sebagai sebuah bisnis triwulan. Itung-itung menambah penghasilan. Ironisnya,  ada yang menjadikan hal itu sebagai pendapatan pokok untuk meraih sukses.

Sukses dari lumpur berbau bukan lagi hal yang membuat takut atau malu. Malah telah menjadi sebuah keniscayaan, budaya yang membanggakan.

"Mama rupanya tak tahu kalau minyak makan yang ku beli hanya setengah kilo, bukan sekilo. Sisanya lebih dari cukup untuk uang jajan ku,"  seorang siswa SD telah melakukan praktik kotor terhadap amanah orang tuanya.

Ini baru anak SD, bagaimana jika sang anak telah menyandang gelar Magister Menejemen (MM), MBA, ME atau Prof. Dr. Ir. Jailangkung, SH, MH, misalnya. Mungkin saja minyak makan yang dibeli bukan orisinil oil (minyak murni), tapi minyak jelanta dan hanya seperempat kilo.

Dalam hal ini, ormas boleh saja berteriak lantang, koran boleh juga terbit pagi dan petang. Namun kalau pengawas tak di hadang, bisnis jeruk purut ini akan semakin subur. Kendati  berbuah lebat, paling banter digunakan untuk pergi ke dukun. Awa..wa...puah....puah, gitu mantera-nya.

Ironisnya, mendapatkan untung besar, pembisnis jeruk purut ini malah naik haji atau menjadi pendeta. Sahdan, ada juga yang beruforia berwisata keluar kampung dengan para "mama" pembisnis lendir.

Ini fatal, akibatnya mama yang didapur jarang disentuh, dia pasti mencoba mencari hangat dari para sahabat dekat. Walaupun alibinya hanya sekedar curhat, lama-lama, kan bisa berkeringat.

Penat berkata, sungguh sebuah nestapa, celakalah bagi rakyat jelata yang hanya tahu membayar "upeti" dan kelak akan dibalas dengan peti mati. Nauzubbilahi Minzalik ***
Diberdayakan oleh Blogger.