Quo Vadis Pemilu 2019

OPOSISI Malaysia dipimpin Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim telah meraup suara 80% dalam pemilu. Secara otomatis keduanya akan memegang kendali pemerintahan Malaysia dan 1x24 jam diambil sumpahnya oleh Raja Malaysia. Perlu diketahui, mereka menang ada dua issue yang paling fundamental yakni pertama: penguasaan penjajahan China melalui investasi dan Tenaga Kerjanya. Kedua, issue korupsi dan hutang negara yang membengkak.

Kedua issue diatas ada dan menjadi bagian dari piranti kekuasaan negara Malaysia. Namun, kemunculan Mahathir Muhammad dan Anwar Ibrahim dengan partai koalisi Pakatan Rakyat mampu menumbangkan rezim yang berkuasa 60 tahun itu. Koalisi UMNO dalam Barisan Nasional terpaksa tinggalkan istana perdana menteri.

Konteks Indonesia, Pemilu Malaysia ini memiliki dampak positif terhadap lawan-lawan politik pemerintah yang berkuasa sekarang ini. Tentu, issue Malaysia sama dengan issue masyarakat Indonesia. Tinggal menanti kecerdasan lawan-lawan politik Jokowi untuk menggunakan kedua issue diatas. Bahkan, perspektif issue yang dibangun, untuk menang pada Pilpres 2019 nanti sangat banyak yang perlu menjadi perhatian bersama.

Apalagi menjelang pemilu tahun 2019, Indonesia secara substansi terancam karena beberapa kebijakan yang dianggap tidak populis yakni memotong subsidi BBM, krisis keuangan global, sensitifitas kelompok politik, serapan kesejahteraan anjlok dan tingkat kekuatan fundamental ekonomi rapuh.

Apalagi, pemerintahan Jokowi terlalu khawatir sehingga terlebih dahulu kampanye. Padahal, kondisi pemerintahan dalam keadaan sulit. Lagi pula, semangat reformis para elit sudah memudar.
Kejernihan melihat persoalan negara ini, sudah tak ada lagi.

Padahal alarm masyarakat akan kesejangan sudah muncul. Apalagi, pemerintah memandang rakyat sebagai pasar empuk miliaran dolar (asing) untuk membangun infrastruktur. Bisa jadi persoalan ini bisa memicu serangkaian peraturan yang dianggap menghambat ekonomi dan infrastruktur, sehingga terbitlah Perpres 20 tahun 2018 soal TKA.

Sekarang, kurang dari satu tahun akan menggelar pemilihan Presiden 2019 diperkirakan akan bersaing ketat dan keras. Persoalan pemerintahan Jokowi yang paling mendasar dan berimbas pada rakyat yang tidak terkontrol: semua harga barang-barang, kebutuhan pokok seperti bahan bakar, listrik, ikan, garam, beras dan gula naik seiring dollar menguat.

Atas menguatnya dolar, kemungkinan besar Jokowi tidak lagi di inginkan oleh Amerika Serikat. Karena selama tiga tahun lalu, posisi Jokowi tidak lagi memperoleh popularitas yang hebat. Penyebabnya, tidak memberi jaminan kesejahteraan yang baik dalam jangka pendek dan panjang.
Menurut Lukas K. Danner (2018:27), "China’s Grand Strategy Contradictory Foreign Policy?" versi (eBook), Library of Congress Control, katakan kerangka operasi ekonomi dan infrastruktur atas dasar strategi besar yakni fundamental ekspansi ekonomi infrastruktur sesuai asumsi internasional. Mengingat Eurocentrism, Dollarism dan Yuanism di driver oleh China sebagai kontrol terhadap dunia termasuk Asia.

Kemungkinan besar, kenaikan Dollarism menghajar pemerintahan Jokowi karena ulah China lakukan intervensi dan kontrol terhadap mata uang Yuan terhadap Dollars. Namun, boleh juga ungkap strategi besar China untuk menguasai suatu negara.

Sebagaimana diungkap oleh Liddell Hart, (1954:31), bahwa bagi kawasan Asia terdiri Indonesia, Malaysia, dan Singapore sudah bisa diprediksi, serbuan tenaga kerja asing China untuk penyiapan kontra terhadap upaya-upaya de'militerisasi dan  proses pengawalan regulasi.

Kalau sebabnya itu, menandakan para elit Indonesia sudah terpapar dan masuk dalam lingkaran Operasi China's Private Army. Ini merupakan pertarungan dua blok, satu tahun kedepan sangat panas dan akan membedakan antara mana yang membela kepentingan bangsa dengan kepentingan asing. Yang paling menghawatirkan adalah tenaga kerja asing asal China itu di branwosing sebagai agen-agen operasi dan mengatur operandi untuk menguasai dan mengontrol bangsa ini.

Bahkan bank-bank milik negara saat ini sudah mulai kalap dan sedikit harapan untuk tidak menjual investasi dan sahamnya. Perlu diperhatikan itu bahwa pemilu presiden 2019 harus bisa membawa rakyat keluar dari kemiskinan. Karena sudah sangat jelas, kondisi ekonomi sekarang menjadi ancaman serius terhadap jebloknya anggaran negara dan mandeknya pembangunan jangka panjang.

Maka, pada 2019 kedepan, sangat menentukan bagi politik dan masa depan Indonesia. Pertarungan yang menarik, sekaligus menjejal denyut jantung negara Indonesia karena ketakutan dari ambisi China untuk menguasai. Mari kita jernih melihat masa depan negara ini. Saat ini sedang ada "Operasi Private Army Tentara Merah di Indonesia.

"Sebaiknya, kita tidak terjebak pada membela capres - cawapres yang tidak mementingkan kepentingan bangsa dan negara. Terpenting sekarang, nasionalisasi asset-asset penting negara. Tahun 2019 kedepan adalah tahun jalan keluar kita sebagai bangsa berdaulat, agar terbebas dari terpaparnya iming-iming investasi dan infrastruktur.

Pemilu 2019 bagi para pemimpin politik Indonesia yang berada ditengah kepungan asing, harus mampu keluar, seperti arah kebijakan politik Malaysia saat ini yang berani akan mengusir investasi China. Lalu kemanakah (Quo Vadis) Pemilu 2019 untuk Indonesia saat ini?
*) Rusdianto Samawa, Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)

Sumber : harianterbit

Diberdayakan oleh Blogger.