MUI Protes Kekejaman PKI di Film G30S/PKI Dihilangkan

istimewa


JAMBITERBIT.COM, JAMBI - Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Jendral Anton Tabah Digdoyo tidak setuju atas  saran dari pemerintah untuk menghilangkan adegan-adegan kekejaman dalam film G30S/PKI. Alasannya, film sejarah adalah saksi kehidupan suatu bangsa. Apalagi adegan kekejaman PKI dalam film G30S/PKI juga sudah teruji di persidangan peradilan yang terbuka dengan saksi-saksi.

“Saya tidak setuju film sejarah diubah-ubah, film sejarah beda dengan film entertainment yang bisa diubah-ubah sesuai selera publik atau selera zaman,” ujar Anton di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Menurutnya, kekejaman PKI dalam film G30S/PKI yang diuji di persidangan juga dihadirkan alat-alat bukti yang diperkuat pula dengan forensik crime/scientific crime investigations. Sehingga kekejaman PKI memang valid dan akurat. Kekejaman PKI dalam film G30S/PKI adalah inti sejarah atas pemberontakan yang dilakukan partai berlambang palu arit tersebut.

Oleh karenanya rakyat Indonesia harus menonton film G30S/PKI sebagai sejarah kelam Indonesia. “Saya himbau seluruh rakyat Indonesia untuk nobar film G30S/PKI,” tegasnya.
Anton yang juga Pengurus KAHMI Pusat ini mengatakan, hampir semua bangsa punya sejarah baik buruk traumatik maupun heroik legendaris yang sangat membekas di jiwa bangsa tersebut. Sebagai contoh bangsa Jerman, setiap tahunnya juga memperingati kekejaman NAZI itu juga untuk mengingat sejarah.

“Isi kitab suci agama-agama banyak sejarah. Dalam Al-Quran sekitar 70 persen sejarah yang baik maupun yang buruk iktibar Tuhan ajari manusia agar belajar sejarah,” ungkapnya.

Menurutnya, sejarah kelam bukan untuk dihapus. Tapi untuk dijadikan pelajaran agar tak berulang. Al-Quran diperintahkan dibaca berulang-ulang, bahkan menghafal Al-Quran agar selalu ingat umat-umat terdahulu. Belajar dan bercermin setiap tahun ditutur ulang filmnya, diputar ulang demi generasi ke generasi bukan memupuk dendam apalagi permusuhan.

Bangsa Indonesia kata dia sangat pemaaf tapi tak boleh berupaya hidupkan lagi PKI yang justru di era Jokowi ini gejalanya makin tampak. Seperti melarang swiping logo PKI, berpidato bahwa PKI bukan ancaman Pancasila, menjalin kerjasama dengan PKC terang-terangan. Padahal yang dilakukan tersebut telah melanggar KUHP pasal 107a s/d 107f yo UU 27/1999 ancamannya cukup berat 15 tahun penjara.

Sementara itu Juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212 Habib Novel Bamukmin mengatakan, setiap bulan September maka umat beragama di Indonesia tidak pernah lupa terhadap sejarah kelam pemberontakan G30S/PKI tahun 1965. Karena kala itu ada peristiwa yang secara biadab dan kejam tidak berperikemanusiaan membantai para jenderal. Sebelumnya rentetan peristiwa pemberontakan PKI juga terjadi dari mulai tahun 1948.

"Pemberontakan PKI sejak tahun 48 telah memakan ratusan ribu korban jiwa umat Islam dan para kiyai," ujarnya kepada Harian Terbit, Jumat (28/9/2018).

Menurutnya, ustadz dan tokoh agama adalah sasaran utamanya karena PKI anti terhadap ketuhanan dan ideologi Pancasila. Aktivitas PKI  sangat berbahaya dan menyesatkan karena dapat merusak sendi kehidupan. Oleh karenanya perlu pengenalan sejarah kepada generasi penerus akan sejarah kebiadaban PKI agar tidak terulang lagi dikemudian. Makanya pemerintah sebagai motor penggerak utama untuk memberikan pelajaran sejarah kepada generasi penerus.

"Hal ini dilakukan agar generasi penerus faham bahwa komunis yang sangat biadab itu ada di Indonesia dan kita harus waspada dengan akan bangkitnya kembali PKI di tengah kita,"  jelasnya.
Saat ini ada juga gelombang elemen masyarakat yang meminta penghapusan Tap MPRS No 25 tahun 1966," jelasnya.

Selain itu, sambung Novel, saat ini juga marak simbol- simbol PKI yang berani bebas menonjolkan dirinya, leluasanya lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif yang dimasuki anak - anak eks PKI.  pembuatan film film bioskop berbau PKI, lepasnya tokoh agama dari BSF (Badan Sensor Film) dan masih banyak lagi tanda- tanda PKI ini akan bangkit.

Pengamat politik dari Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) M Aminuddin mengatakan, mungkin ada effect psikologis yang membuat pemerintah meminta penghapusa  kekejaman film G30S/PKI.

Namun menghapuskan keseluruhan alur terjadinya kekerasan dan kekejaman PKI dalam tragedi 65 bisa dianggap pemerintah berusaha mengaburkan sejarah kekejaman PKI yang telah membunuh para perwira, prajurit serta rakyat yang menjadi korban kekejaman PKI.

"Untuk versi pemirsa anak-anak usia dibawah 16 tahun memang adegan kekerasan perlu dikurangi. Tapi versi dewasa biarkan apa adanya," paparnya.

Aminudin menyarankan agar tidak terjadi polemik maka pemutaran film G30S/PKI bisa tetap perlu ditayangkan secara massal seperti di tv-tv, bioskop-bioskop dan lainnya. Tapi perlu juga  diperkaya diskusi-diskusi film G30S/PKI di kampus-kampus, sekolah, ormas-agar guna memperkaya perspektif kejahatan PKI terhadap rakyat Indonesia seperti ulama dan santri.
 
Musuh Bersama

Sementara itu Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto tidak mengatakan secara tegas apakah satuan TNI akan menggelar acara nonton bersama film Penumpasan Pengkhianatan G30SPKI tahun ini. Tahun lalu, Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengintruksikan nobar film garapan sutradara Arifin C. Noer itu.

Hadi mengatakan menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30SPKI adalah hak seluruh warga negara sampai kapan pun. "Silakan semuanya bisa nonton dan itu bagian dari sejarah bangsa, di mana ideologi komunis harus benar-benar kita tolak untuk tidak bisa masuk ke negeri Pancasila ini," kata Hadi di Balai Sudirman, Jakarta, Rabu 26 September 2018.

Menurut Hadi, ideologi komunis adalah musuh bersama segenap bangsa Indonesia. Kata dia, ideologi tersebut telah membawa sejarah kelam yang tidak akan pernah dilupakan bangsa Indonesia. "Itu yang selalu kami tanamkan kepada seluruh generasi penerus, sehingga bahaya komunis menjadi kewaspadaan kita semua," ujarnya. (Harian Terbit/Safari)
Diberdayakan oleh Blogger.