Jokowi Diminta Selidiki Dugaan Raibnya Uang Negara Rp45,6 Triliun

Presiden Joko Widodo. foto istimewa

JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan 447 temuan berindikasi pidana senilai Rp45,6 triliun ke Presiden  Joko Widodo (Jokowi). Temuan ini sudah dilaporkan BPK kepada Kepolisan RI, Kejaksaan RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Pegiat antikorupsi meminta Presiden memerintahkan Jaksa Agung, Kepolisian dan KPK untuk segera dilakukan penyelidikan terhadap temuan BPK tersebut.

Direktur Government Watch (Gowa) Andi Wahyu Saputra mengatakan, dengan adanya temuan BPK terkait 447 temuan yang berindikasi pidana senilai Rp45,6 triliun ke Jokowi maka harusnya  Jokowi segera memanggil Ketua KPK dan Jaksa Agung agar segera menindaklanjuti temuan BPK tersebut. 


Selain itu Jokowi juga harus memerintahkan untuk segera dilakukan penyelidikan terhadap temuan BPK tersebut.

"Presiden mesti memenuhi janjinya dengan melakukan upaya tanggap pemberantasan korupsi untuk memimpin langsung di depan upaya-upaya tersebut. Temuan BPK terkait LKPP tahun 2017 tersebut harus memperoleh supervisi dari Presiden," tegas Andi W Saputra kepada Harian Terbit, Minggu (7/10/2018).

Andi menegaskan, temuan BPK yang sangat fantastis tersebut maka Jokowi juga harus segera menjadwalkan dan memberi batas waktu bagi penyelsaian hukumnya. Hal itu agar bisa memberikan rasa keadilan bahwa tidak ada yang kebal hukum di Indonesia.

"Jika temuan ini tidak dilanjuti, saya melihat Presiden  kurang tanggap," paparnya.

Padahal, sambung Andi, sebagai seorang Presiden seharusnya Jokowi mempunyai tekad untuk memimpin langsung pemberantasan korups,  bukan hanya sebatas jargon dan lips service belaka tanpa dibarengi oleh upaya-upaya konkret di lapangan. 


Jika temuan BPK tersebut didiamkan maka bisa menjadi preseden buruk dan berbahaya bagi pemerintahan Jokowi.

"Ini jelas bisa sangat berbahaya bagi kelangsungan masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini.  Sebab ada kesan Presiden abai terhadap temuan BPK yang jelas-jelas terindikasi pidana," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi juga mengatakan, indikasi pidana dengan potensi kerugian negara sebesar Rp45,6 triliunan sudah sangat luar besar. 


Bahkan potensi kerugian negara ini bisa bertambah besar jika BPK  melakukan audit di proyek proyek infrastruktur yang dibangun era Jokowi. Oleh karena itu diminta kepada BPK untuk segera melimpahkan potensi kerugian negara tersebut ke ranah hukum.

"Ini dilakukan agar para penyelenggara negara pada kapok untuk "mencuri" uang rakyat," tegasnya.

Uchok menegaskan,  setiap tahun BPK mempublikasi laporan keuangan yang dilakukan lembaga atau kementerian. Sayangnya dari temuan BPK tersebut  ada yang sudah ditindaklamjuti, atau juga yang belum. Penegak hukum untuk tidak tebang pilih untuk menindaklanjutinya.

"Penegak hukum harus melanjutkam hasil audit BPK ke ranah hukum. Jangan pura - pura nggak tahu," tegasnya.

Seperti diketahui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan telah menyelamatkan keuangan negara senilai Rp4,13 triliun pada semester I tahun 2018. 


Jumlah ini berasal antara lain dari penyerahan aset/penyeteron ke kas negara/daerah senilai Rp697 miliar, koreksi subsidi sebesar Rp2,88 triliun, serta koreksi cost recovery senilai Rp561,6 miliar. Laporan tersebut disampaikan Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara saat menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/10/2018) lalu.

Dalam siaran pers yang dibagikan di sela-sela pertemuan, BPK melaporkan telah menyelamatkan keuangan negara senilai Rp4,13 triliun pada semester I tahun 2018. Jumlah ini berasal antara lain dari penyerahan aset/penyeteron ke kas negara/daerah senilai Rp697 miliar, koreksi subsidi sebesar Rp2,88 triliun, serta koreksi cost recovery senilai Rp561,6 miliar.

“Penyetoran ke kas negara dilakukan sebagai tindak lanjut atas rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Sedangkan koreksi subsidi diperoleh dari hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan subsidi/kewajiban pelayanan publik (KPP) tahun 2017. 


Terkait dengan koreksi cost recovery, ini merupakan koreksi perhitungan bagi hasil dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS),” bunyi siaran pers itu seperti dilansir setkab, Jakarta, Kamis (4/10/2018).

Dalam IHPS I Tahun 2018 disebutkan bahwa selama periode 2003 – 30 Juni 2017, BPK telah menyampaikan 447 temuan pemeriksaan yang mengandung indikasi pidana kepada Kepolisan RI, Kejaksaan RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) senilai Rp45,65 triliun. 


“Dari temuan itu, instansi yang berwenang telah menindaklanjuti 425 temuan (95%) senilai Rp44,05 triliun,” ungkap BPK.

IHPS I Tahun 2018 merupakan ringkasan dari 700 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terdiri atas 652 LHP keuangan, 12 LHP kinerja, dan 36 LHP dengan tujuan tertentu.

Terkait LHP keuangan, menurut BPK, hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2017 memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). 


BPK juga menyebutkan, pada Laporan Keuangan Kementerian Lembaga, jumlah opini WTP mengalami peningkatan dari 84% pada tahun 2016 menjadi 91% pada tahun 2017. (Harian Terbit/Safari)
Diberdayakan oleh Blogger.