Theater Potlot Akan Tampilkan Konflik Ekologi Dalam Pertunjukan Rawa Gambut
ilustrasi |
Penulis dan sutradara naskah "Rawa Gambut", Conie Sema, menuturkan, karya itu lahir dari hasil mengumpulkan banyak teks di kawasan gambut Pesisir Pantai Timur Sumatra, tepatnya di beberapa titik kawasan yang mengalami konflik lingkungan dan budaya di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, Sumatra Selatan (Sumsel).
"Kami juga mengamati kebijakan pemerintah usai kebakaran besar lahan gambut tahun 2015. Memantau langkah-langkah pemerintah melalui program restorasi gambut yang dikerjakan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Sebuah badan yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, " tuturnya. Conie juga menjelaskan, persoalan ekologi diangkat dalam bingkai seni pertunjukan agar lebih masif dipahami masyarakat umum dan melahirkan kesadaran terkait ekologi, lingkungan serta pada pengelolaan bentang alam.
Ia menguraikan, gerakan budaya dalam memantau pengelolaan bentang alam di negeri ini, setidaknya sebagai simbol meng-aktualisasi-kan spirit ekologi dari Prasasti Talang Tuwo yang ditulis Raja Sriwijaya, Dapunta Hyang, pada 684 Masehi, saat mendirikan Taman Sriksetra.
"Saya menggiring penafsiran aktor serta playing space realisme yang dimainkan guna merangsang kesadaran intelektualnya (Theatre of Intelligent). Saat ini, reaalitas pengelolaan sumberdaya alam dari konversi hutan dan lahan gambut saat ini, cenderung berpihak kepada investasi dan keuntungan ekonomi semata," paparnya.
Sementara itu, perwakilan dari Teater Tonggak Jambi, Eso Pamenan, menyatakan kegembiraan dan rasa bangga dipercaya sebagai panitia pelaksana pertunjukan. Menurut Eso Pamenan, pementasan Conie juga menyusun peta-peta kecil peninggalan sejarah dan jejak penandaan Sriwijaya, melalui artefak dan situs yang berhamburan di sekitar lokasi perkebunan sawit dan HTI akasia.
Dalam pementasan itu, Conie mencoba mensimulasikan kenyataan tersebut dengan berbagai bentuk pengucapan teater yang mempertimbangkan banyak hal dalam mewujudkan nilai-nilai yang hendak disampaikan ke dalam realitas pentas.
Kemudian memfokuskan fakta sosial dan nilai kebenaran dalam kehidupan sehari-hari yang direfleksikan menjadi pesan-pesan moral yang estetik.
"Teks Rawa Gambut ini menjadi kumpulan fragmen seperti pecahan artefak masa lalu, yang mungkin menjadi tata replika masa depan. Mungkin dalam makna simbolik akan menjadi rupa tiga dimensi yang verbal. Atau sebaliknya, menjadi sosok yang absurd bisa dihidupkan, atau bisa juga dimatikan dalam bahasa estetik," jelas Eso.
Eso melanjutkan, menurutnya, Pertunjukan Rawa Gambut bisa ditonton secara gratis pada Sabtu dan Minggu di Taman Budaya Jambi. "Teater Potlot juga akan berkolaborasi dengan Teater Tonggak Jambi dalam pertunjukan --Tembang Anak Sialang-- karya Didin Siroz," tutupnya. (release)