Mencari Solusi untuk Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan

Oleh : Rizal Ependi 


istimewa
















KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia dipandang perlu untuk dicarikan solusi agar tak terulang. Pihak terkait hendaknya melakukan pencegahan sebelum karhutla terjadi dengan cara melakukan patroli udara pada kawasan rawan terdampak karhutla pada awal musim kemarau.

Kemudian secara terus menerus melakukan sosialisai kepada masyarakat petani untuk tidak membakar lahan. Sosialisasi hendaknya dilakukan diantaranya pada acara-acara sosial, majelis taklim, kelompok pengajian, rumah ibadah dan pada acara pagelaran senibudaya daerah, melalui para camat dan kepala desa.

Masyarakat petani harus diberikan pemahaman sehingga mereka menyadari tentang bahaya kebakaran hutan dan bahaya membakar lahan.

Pemerintah harus memberikan sanksi berat kepada pelaku karhutla terlebih pelakunya oknum di perusahaan perkebunan. Karena akibat karhutla negara menderita kerugian sangat besar untuk biaya pemadam api.

Pemerintah mungkin belum sempat menghitung kerugian materi yang disebabkan karhutla tahun 2019. Namun diperkirakan jumlah kerugian tak jauh berbeda dibanding penanganan karhutla 2015.

Karhutla tahun 2015 menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 221 triliun. Dana sebesar itu digunakan untuk membeli peralatan dan membiayai petugas pemadam api agar kebakaran tidak meluas.

Setidaknya saat itu seluas 2,6 juta hektar kawasan hutan dan lahan terbakar yang mengakibatkan terjadi polusi udara karena terpapar asap. Asap tebal tak hanya menimbulkan dampak negatif di dalam negeri, namun negara tetangga seperti Malaysia juga terkena imbasnya.

Kabut asap dari karhutla di Sumatra dan Kalimantan sempat mengganggu jarak pandang pengendara. Sehingga para sopir harus ekstra hati-hati. Pada September 2019 dilaporkan karhutla terjadi pada kawasan hutan di Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel), Kepulauan Riau (Kepri), Jambi dan Kalimantan.

Akibatnya hampir 1 juta penduduk menderita sesak napas karena terkena penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Di Kota Jambi sendiri tercatat 11.251 orang terkena ISPA. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya rumah sakit dan puskesmas di Kota Jambi yang menangani pasien sesak napas.

Sejauh ini upaya pemerintah mengatasi karhutla dinilai belum optimal. Karena setiap tahun pada musim kemarau kejadian serupa terus terulang.

Bahkan karhutla 2019 di Jambi sempat menelan korban jiwa, seorang anggota satgas karhutla  meninggal dunia tertimpa pohon tumbang saat sedang memadamkan api.

Polusi udara oleh asap hampir terjadi di setiap daerah di Provinsi Jambi. Saat itu Pemerintah Kota Jambi menginformasikan hasil pantauan Indek Standar Pencemaran Udara (ISPU) tentang kualitas udara yang dominan berstatus kurang sehat bahkan sampai berstatus berbahaya.

Beberapa sekolah di Kota jambi dan Kabupaten Muarojambi sempat meliburkan aktivitas belajar mengajar atau setidaknya mengurangi jam masuk dan pulang sekolah.

Sedangkan warga di Kabupaten Tanjungjabung Barat (Tanjabar) dan Tanjabtim juga mengalami hal serupa . Warga bahkan harus bekerja ekstra keras dan mengeluarkan biaya cukup besar untuk memperoleh air bersih di bawah paparan asap.

Harus Bersinergi 

Penanganan karhutla perlu sinergisitas dari semua pihak. Tidak cukup hanya dilakukan oleh satgas karhutla saja, harus melibatkan pemerintah desa dan masyarakat setempat.

Masyarakat diharapkan ikut mengontrol perusahaan perkebunan ketika membuka lahan baru, jangan sampai ada yang melakukan pembakaran.

Jika hal itu terjadi masyarakat harus lebih cepat mengambil tindakan dengan melaporkan kepada kepala desa. Kepala desa kemudian meneruskan laporan kepada pihak terkait termasuk kepada polisi.

Dengan begitu diharapkan dapat mencegah meluasnya kebakaran hutan serta menyelamatkan habitat hewan yang hidup di sana.

Akibat karhutla banyak hewan kehilangan tempat tinggal, termasuk hewan-hewan yang dilindungi. Bahkan sebagian hewan mati terbakar yang mungkin akan punah.

Penanggulangan karhutla yang telah dilakukan saat ini dinilai belum efektif. Masih banyak terdapat kendala mulai dari kurangnya dana untuk membeli peralatan hingga minimnya biaya oprasional dan akomodasi petugas di lapangan.

Satgas karhutla harus bekerja ekstra keras, mereka berjibaku dengan api hanya menggunakan alat pengaman (safety) seadanya.

Bahkan sampai berbulan-bulan lamanya mereka berada di kawasan terdampak kebakaran. Pun begitu, karhutla di lahan gambut belum juga dapat dipadamkan, sebelum dilakukan hujan buatan yang membutuhkan biaya besar.

Perizinan 

Pemberian izin hak pengelolaan hutan (HPH) kepada pengusahaan perkebunan juga perlu dikaji ulang. Pemerintah hendaknya tidak memberikan izin kepada perusahaan yang akan membuka kawasan perkebunan pada lahan gambut.

Atau tidak memperpanjang serta mencabut izin operasional perusahaan perkebunan yang terbukti sengaja atau tidak sengaja telah melakukan pembakaran hutan di lahan gambut. Karena kebakaran lahan gambut menghasilkan asap cukup pekat.

Kalau memang diperlukan, harus dilakukan pengawasan ketat kepada perusahaan yang mengelola lahan gambut untuk mencegah mereka melakukan pembersihan lahan (land clearing) dengan cara dibakar.

Pemerintah bisa bekerjasama dengan NGO (Non Gavermental Organization) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan pengawasan. Kemudian membentuk satuan tugas pengawasan yang direkrut dari warga setempat.

Awal November 2019 polusi udara telah berkurang, api berhasil dipadamkan dengan hujan buatan. Bahkan tak lama lagi memasuki musim penghujan yang dapat memadamkan api yang membakar lahan gambut.

Namun jika belum ditemukan jalan keluarnya, setiap tahun pemerintah masih terus dibikin pusing karena harus memadamkan api. Setiap tahun pula pemerintah harus mendengarkan keluhan ratusan, ribuan bahkan jutaan warga yang menderita sesak napas akibat terpapar asap. (*)
Diberdayakan oleh Blogger.