Anak Dusun
Oleh: Musri Mauli *)
KISAH di malam hari bercerita di sebuah sekretariat organisasi
kepemudaan membuat saya tercenung. Cerita dari mereka membuat saya
merenung.
Kata-kata dusun, "anak dusun”, orang dusun atau orang kita terus mewarnai pembicaraan.
Cerita dimulai ketika saya menikmati kopi. Setelah seharian berjalan mutar-mutar dak karuan, saya melepaskan Lelah.
Sembari memulai cerita, saya meneguk kopi yang terhidang. Masih kental memanas. Asap kopi menderu ke udara.
Saya lihat calon gubernur saya nih seperti melihat saya sendiri. Anak
dusun yang mempunyai mimpi. Mimpi mengubah nasib dan mempunyai harapan.
Banyak anak-anak dusun yang bermimpi jadi orang besar. Sukses. Pendidikan. Dipandang orang.
Nah Al Haris adalah mimpi kami. Kami melihat Al Haris adalah mimpi
kami. Orang dusun bisa menjadi orang besar. Lihatlah Al Haris, katanya
berapi-api. Persis Bung Tomo mengajak rakyat Surabaya melawan NICA.
Tentara Belanda yang mendompleng kedatangan Sekutu.
Seakan-akan kopi terteguk di leher. Kopi panas sedikit gula kemudian
menyentak badanku. Yang sempat merasakan dingin di malam hari.
Tidak terpikirkan sama sekali saya. Sang calon kandidat yang kemudian
ramai dibincangkan orang banyak ternyata menjadi inspirasi. Anak Dusun
terhadap mimpinya. Mimpi untuk mengubah nasib. Mengubah keadaan menjadi
kenyataan.
Membicarakan dusun tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan sederhana, tahu adat, menghormati orang tua, tahu tutur dusun,
pintar menempatkan diri dan tidak lepas dari kehidupan sehari-hari di
dusun.
Sebagai anak dusun, pandai menangkap kodok, menebar
jala, mencari ikan dan turun tuai padi, mimpi sukses dikota besar adalah
mimpi anak dusun yang manusiawi. Mimpi melihat kehidupan kota. Mimpi
meraih cita-cita.
Sayapun tidak terpikirkan. Bagaimana seorang
Al Haris yang lahir di sebuah tempat yang dikenal Sekancing mampu
menjadi inspirasi anak-anak dusun. Yang bermimpi berbuat untuk negeri
Jambi.
Namun yang membanggakan mereka. Al Haris tidak berubah. Dari kukenal sejak dulu.
Dengan atribut baju Bupati, dia tetap menempatkan “seorang adik”. Mendahului menyapa, mendatangi tempat saya berada.
Pernah ketika saya “mampir" di tempat pemberhentian (biasa mobil angkutan umum berhenti) di Sekancing.
Saya melihat kejauhan. Segan untuk menyapa. Dan kemudian saya lihat dia hendak menaiki mobil Dinas berplat merah.
Namun saya kaget. Dia melihat saya. Turun dari mobil dinas, berjalan kaki, mendatangi saya.
“Mau kemano, bang?”, katanya ramah. Sembari mengulurkan tangan.
Ditengah keramaian, panggilan resmi tetap saya gunakan.
“Mau ke atas, pak bup. Ini istirahat sebentar”, kata saya. Kaget dia menyampirin saya.
“Oya, bang. Hati-hati”, katanya sembari tersenyum sembari kembali ke mobil.
Atau dalam sebuah pertemuan di hotel di Jakarta. Ketika itu hotel tempat menginap digunakan untuk sebuah event kegiatan.
Dari jauh saya melihat dia sedang berbicara. Kalau tidak salah sedang
bertemu dengan ketua Partai. Entah “urusan apa”, saya juga tidak
mengikutinya.
Alangkah kagetnya saya. Dia kemudian meninggalkan meja. Kemudian mendatangi meja saya.
Padahal tidak perlu juga dia menyampirin saya. Cukup say hello sambil mengangkat tangan, bagi saya lebih dari cukup.
Namun ketika dia datang dan sambil bersalaman, “Iya. Lagi ketemu dengan kawan kito dari Jambi.
“Abang ada kegiatan apa disini”, katanya ramah. Sembari mengulurkan tangan. Termasuk menyalami semua teman-teman saya.
“Iya, pak Bup. Lagi ada kegiatan. Ini lagi istirahat. Ngopi dulu”, kata saya. Sembari mengenalkan dengan kawan-kawan.
Setelah berbasa-basi sejenak, kemudian dia pamit. Meninggalkan tempat kami ngopi.
Belum hilang rasa kaget, tiba-tiba teman-teman bertanya.
“Siapa tuh, ketua?, kata temanku.
“Bupati Merangin. Dia adik tingkat kuliah’, kataku. Belum hilang rasa kaget.
“Iya. Teman atau adik sih tidak masalah. Tapi dia bupati kok
mendatangi. Itu yang bikin kami heran”, kata temanku. Tidak percaya.
“Saya juga kaget. Jangan tanya, ya.. Dia memang begitu”, kataku sambil
tertawa. Mengusir kegalauan dan kekagetan yang baru dirasakan.
Ah. Cerita lama yang terpatri kemudian menemukan jalinan cerita. Di tengah malam. Ditemani kopi kental.
Al Haris memang anak dusun. Dia menjadi inspirasi anak dusun. Dan dia
tidak berubah. Dia menempatkan diri. Sebagai orang kecil atau lebih
muda.
Dia melepaskan atribut Bupatinya. Dia melepaskan jubah
kebesaran. Tetap menundukkan diri. Sebagai adik. Dan tetap menempatkan
diri sebagai Adik. Tidak berubah.
Inilah kemewahan yang paling kurasakan. Bersama dengan adik, kami menyongsong Pilkada dengan hati gembira.
Kemewahan yang akan kuceritakan kelak. Kepada anakku.
Selamat Datang Jambi. Kita menyongsong “arah baru Jambi 2020”.
*) Advokat. Tinggal di Jambi