Sidang Korupsi e-KTP, Ahli Hukum Pidana UI: Ketua Konsorsium Tidak Bertanggungjawab Atas Tindak Pidana Anggota
“Ada lima anggota konsorsium, sedangkan dua melakukan delik. Katakanlah ketua konsorsium harus bertanggungjawab atas semua tindakan anggota konsorsium, tidak bisa seperti itu. Teori pertanggungawaban korporasi tidak bisa diterapkan di sini,” jelas Eva Ahjani Zulfa, dalam sidang dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Isnu Edhy Wijaya dan Husni Fahmi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 29 September 2022.
Eva memaparkan, konsorsium bukanlah korporasi, dia hanyalah sebuah organisasi yang terdiri dari badan hukum korporasi yang masing-masing bertindak sendiri.
"Dalam istilah konsorsium, kalau 2 anggota melakukan delik, hal itu menjadi tanggung jawab pelaku pribadi. Karena, anggota-anggota konsorsium representasi pribadi," jelasnya.
Ahli Hukum Pidana UI juga menyampaikan untuk membuktikan apakah anggota konsorsium yang tidak ikut serta terlibat dalam melakukan praktek suap, harus dibuktikan apakah ada kesatuan niat atau meeting of minds. Ikut serta dalam sebuah rapat bukan berarti memiliki kesatuan niat atau meeting of minds untuk melakukan tindak pidana.
Pakta integritas yang menegaskan penolakan terhadap praktek-praktek yang tidak benar seperti halnya suap-menyuap dan jika itu dilakukan menjadi tanggung jawab sendiri-sendiri, membuktikan bahwa tidak ada meeting of minds, tidak ada kesatuan niat di antara anggota konsorsium PNRI untuk melakukan praktek penyuapan.
"Lalu, menurut ahli, berdasarkan hasil putusan PN Jakarta Pusat pada 2013 terkait laporan Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahwa Perum PNRI tidak ikut serta dalam persekongkolan membuat konsorsium PNRI sebagai pemenang tender proyek e-KTP. Dan hasil itu sudah dikuatkan MA dan inkrah. Nah, bagaimana kekuatan adanya putusan ini terhadap perkara pidananya?" tanya Endar Sumarsono SH, tim kuasa hukum Isnu Edhy Wijaya.
"Putusan pengadilan itu alat bukti yang absolut pembuktiannya. makna absolut itu sudah pasti terverifikasi, tak ada pertanyaan lagi, dan kekuatannya senilai Undang-Undang. Sehingga, terkait putusan pengadilan yang lainnya maka mau tidak mau Majelis Hakim harus merujuknya. Tidak bisa dihindarkan karena kekuatan pembuktian sudah kuat," ujar staf pengajar Universitas Indonesia.
Terkait dengan pasal-pasal yang didakwakan kepada Isnu Edhy Wijaya, yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Eva menjelaskan bahwa pasal 2 dan pasal 3 sama-sama mengatur perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Bedanya, pasal 2 berbicara soal kerugian negara sedangkan pasal 3 berbicara soal penyalahgunaan wewenang atau jabatan.
Lalu, Eva menyampaikan, pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP mengatur tentang penyertaan dalam tindak pidana. Penyertaan ini memiliki tiga bentuk yakni melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan.
"Bentuk 'melakukan' melekat pada jenis penyertaan yang lainnya. Sementara 'menyuruh melakukan' ada pada posisi di satu pihak menyuruh yang lain yang disuruh. Misalnya, pada bentuk diberikan perintah dari atasan ke bawahan. Kalau seseorang diminta oleh jabatan maka yang bertanggung jawab yang memberikan perintah. Orang yang melaksanakan perintah tidak dipidana," kata Eva.
Terkait bentuk 'turut serta' melakukan, Eva menegaskan hal itu harus memiliki tiga syarat. Pertama, adanya kesadaran kerja sama sebagai kesatuan niat untuk melakukan delik. Dalam hal ini, ada kesamaan niat untuk bersama-sama secara sadar melanggar pidana yang sama.
"Kedua, kerja sama secara fisik antara berbagai pihak. Ketiga, syaratnya berkepentingan langsung atas hasil nyata tindak pidana," kata Eva.
Tim Penasehat hukum Isnu lantas bertanya, apakah untuk memenuhi 'turut serta' melakukan, harus memenuhi 'meeting of minds' untuk melaksanakan perbuatan pidana?
"Untuk pembuktian biasanya selalu berangkat kesamaan niat atau meeting of minds tadi yang ditandai dalam bentuk komunikasi. Tapi komunikasi ini harus bisa membuktikan adanya kehendak yang sama untuk mewujudkan delik yang sama," ujar Eva.
"Dan saya berpikir keikutsertaan rapat tidak bisa diinterpretasikan secara langsung sebagai meeting of minds. Karena begini, misalnya saya ikut rapat penentuan kurikulum. Itu kan juga rapat tapi belum tentu ada kesatuan niat. Jadi kalau misalkan para peserta sepakat melakukan delik itu harus dibuktikan. Bisa saja, hanya sebagian para peserta itu melakukan komunikasi sepakat melakukan delik," kata Eva.
"Jadi, misalnya adanya tuduhan persekongkolan dalam sebuah rapat supaya memenangkan Konsorsium PNRI dengan melakukan penyuapan, harus bisa dibuktikan meeting off minds-nya?" tanya Endar Sumarsono SH.
"Kalau tak ada kesatuan niat meski melakukan rapat tidak bisa. Contohnya, saya rapat dengan Pak Djunaidi soal ketentuan kurikulum. Tapi kami rapat juga untuk kelulusan seorang mahasiswa. Katakanlah, saya diberikan sesuatu oleh mahasiswa untuk meluluskan dia. Saya mengajak rapat Pak Djunaidi untuk penentuan nilai. Nah, kami sepakat untuk meluluskan dia. Tapi pertanyaanya apakah Pak Djunaidi tahu terhadap pemberian mahasiswa itu kepada saya atau tidak. Kalau tidak tahu berarti tidak bisa dikatakan ada kesatuan niat untuk melakukan suap," kata Eva.
"Jadi sebetulnya, upaya memenangkan tender e-KTP itu wajar. Menjadi melanggar hukum kalau para anggota sepakat untuk melakukan suap dan semua memiliki kesatuan niat melakukan itu?" tanda Endar.
"Iya. Maka kalau ada turut serta menyuap artinya adanya kesatuan niat menyuap bersama-sama. Jadi apakah semua peserta harus memenuhi unsur delik, saya kira tidak. Harus ada kerja sama secara fisik untuk mewujudkan delik yang sama," pungkasnya.***